8/9.5 Pembangunan Indonesia Bagian Timur
GBHN 1993 mengamanatkan perlunya menyerasikan laju
pertumbuhan antardaerah serta melaksanakan otonomi daerah yang nyata, serasi,
dinamis, dan bertanggungjawab di dalam suatu kesatuan Wawasan Nusantara.
Implikasinya adalah bahwa kebijaksanaan pembangunan daerah tidaklah sekedar
memberikan kompensasi alokasi finansial kepada propinsi atau kawasan yang
relatif tertinggal, akan tetapi justru lebih difokuskan untuk dapat menumbuhkan
sikap kemandirian dari masing-masing daerah tersebut untuk dapat mengelola dan
mengembangkan potensi sumberdaya yang dimiliki demi kepentingan daerah yang
bersangkutan pada khususnya maupun kepentingan nasional pada umumnya.
Selama PJP I, perkembangan ekonomi antardaerah
memperlihatkan kecenderungan bahwa propinsi-propinsi di Pulau Jawa pada umumnya
mengalami perkembangan ekonomi yang lebih cepat dibandingkan dengan propinsi
lainnya di luar Jawa. Perbedaan perkembangan antardaerah tersebut menyebabkan
terjadinya kesenjangan kesejahteraan dan kemajuan antardaerah, terutama antara
Jawa dan luar Jawa, antara kawasan barat Indonesia (KBI) dengan kawasan timur
Indonesia (KTI), dan antara daerah perkotaan dengan daerah perdesaan. Disamping
itu, masih ditemui daerah-daerah yang relatif tertinggal dibandingkan daerah
lain, yaitu daerah terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan, dan
daerah terbelakang lainnya.
Dalam PJP II, wilayah kawasan timur Indonesia (KTI)
yang secara definitif meliputi 13 propinsi yang ada di wilayah Kalimantan,
Sulawesi dan kepulauan timur, telah diberikan prioritas untuk dikembangkan
dalam upaya untuk memperkecil tingkat kesenjangan yang terjadi antara kawasan
barat Indonesia dengan KTI selama PJP I yang lalu. Sebenarnya, sejak lima tahun
terkahir ini upaya untuk mempercepat pembangunan dan mengembangkan KTI telah
banyak dilakukan melalui berbagai kebijaksanaan dan program pembangunan yang
ditetapkan oleh Pemerintah, serta melalui berbagai seminar, lokakarya, rapat
kerja, sarasehan yang membahas masalah pembangunan KTI yang dilakukan baik oleh
pemerintah, pihak perguruan tinggi, maupun pihak dunia usaha swasta.
Dalam membangun KTI, terdapat beberapa faktor pokok
yang perlu diberikan perhatian lebih mendalam dalam memformulasikan strategi
pengembangannya, yaitu: (a) adanya keanekaragaman situasi dan kondisi
daerah-daerah di KTI yang memerlukan kebijaksanaan serta solusi pembangunan
yang disesuaikan dengan kepentingan setempat (local needs); (b) perlunya
pendekatan pembangunan yang dilaksanakan secara terpadu dan menggunakan
pendekatan perwilayahan; (c) perencanaan pembangunan di daerah harus
memperhatikan serta melibatkan peranserta masyarakat; serta (d) peningkatan
serta pengembangan sektor pertanian yang tangguh untuk dapat menanggulangi
masalah kemiskinan baik di perdesaan maupun di perkotaan melalui peningkatan
pendapatan masyarakat khususnya dalam bidang agribisnis dan agroindustri, serta
penyediaan berbagai sarana dan prasarana lapangan kerja.
Selain itu, dalam memformulasikan strategi
pengembangan KTI terdapat tiga pertimbangan pokok terhadap potensi dan peluang
yang dimiliki KTI, yaitu: (a) beberapa propinsi di KTI merupakan daerah yang
kaya akan sumberdaya alam yang memiliki potensi untuk dikembangkan, yang pada
gilirannya dapat pula dikembangkan menjadi kawasan pusat-pusat pertumbuhan; (b)
jumlah penduduk yang relatif sedikit dengan penyebaran yang tidak merata
dibandingkan luas wilayah, merupakan "katup pengaman" bagi program
transmigrasi penduduk dari wilayah KBI yang relatif lebih padat; serta (c)
adanya komitmen pemerintah untuk melaksanakan pembangunan yang memperhatikan
aspek pemerataan dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
Strategi pengembangan wilayah KTI pada dasarnya
merupakan strategi atau langkah-langkah kebijaksanaan yang bertahap, yakni
mencakup tiga tingkatan strategi: mikro, meso, dan makro. Strategi tingkat
mikro bertujuan untuk mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan dasar, membantu
daerah dalam mencapai kemandirian ekonomi, mendorong pengembangan potensi
ekspor daerah, sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap perekonomian
nasional. Strategi tingkat meso mengupayakan identifikasi keterkaitan fisik dan
ekonomi antarpropinsi agar dapat diciptakan pusat-pusat pengembangan
antarwilayah di kawasan yang bersangkutan. Sedangkan strategi tingkat makro
lebih difokuskan pada pengembangan prasarana transportasi intra dan antarwilayah
sebagai bagian dari sistem transpotasi nasional, pemanfaatan sumberdaya alam
secara tepat dan pelestarian fungsi lingkungan hidup, peningkatan peranserta
sektor swasta, penguatan kelembagaan pemerintah dan masyarakat termasuk
peranserta aktif dari kalangan perguruan tinggi sebagai bagian dari upaya
peningkatan kualitas sumberdaya manusia di KTI.
Sejalan dengan upaya tersebut, salah satu komitmen
pemerintah yang cukup nyata dalam mempercepat pengembangan KTI dalam PJP II
adalah dengan dibentuknya Dewan Pengembangan KTI (DP-KTI) melalui Keppres No.
120 Tahun 1993 tentang Dewan Pengembangan KTI, yang diketuai langsung oleh
Bapak Presiden RI dan beranggotakan 17 menteri/ketua LPND. Untuk lebih
meningkatkan bobot kebijaksanaan yang ditetapkan Dewan, dibentuk 4 pokja yang
meliputi bidang-bidang: (i) pengembangan sumber daya manusia dan teknologi,
(ii) sumber daya alam dan lingkungan, (iii) prasarana, dan (iv) kelembagaan,
serta 1 kelompok kerjasama pembangunan daerah antarBappeda se-KTI. Sejak
terbentuknya, Dewan telah melaksanakan beberapa kali pertemuan tingkat anggota
Dewan dan telah menghasilkan berbagai keputusan yang berbobot kebijaksanaan
makro yang dijabarkan secara lebih operasional oleh masing-masing
departemen/LPND terkait.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar