6/7.5 Beberapa
Indikator Kesenjangan dan Kemiskinan
BEBERAPA
INDIKATOR KESENJANGAN DAN KEMISKINAN
·
INDIKATOR KESENJANGAN
Ada
sejumlah cara untuk mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan
yang dibagi ke dalam dua kelompok pendekatan, yakni axiomatic dan stochastic
dominance. Yang sering digunakan dalam literatur adalah dari kelompok
pendekatan pertama dengan tiga alat ukur, yaitu the generalized entropy (GE),
ukuran atkinson, dan koefisien gini.
Yang
paling sering dipakai adalah koefisien gini. Nilai koefisien gini berada pada
selang 0 sampai dengan 1. Bila 0 : kemerataan sempurna (setiap orang mendapat
porsi yang sama dari pendapatan) dan bila 1 : ketidakmerataan yang sempurna
dalam pembagian pendapatan.
Ide
dasar dari perhitungan koefisien gini berasal dari kurva lorenz. Semakin tinggi
nilai rasio gini, yakni mendekati 1 atau semakin jauh kurva lorenz dari garis
45 derajat tersebut, semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi
pendapatan.
·
INDIKATOR KEMISKINAN
Batas
garis kemiskinan yang digunakan setiap negara ternyata berbeda-beda. Ini
disebabkan karena adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup. Badan
Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang
dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan
bukan makanan (BPS, 1994). Untuk kebutuhan minimum makanan digunakan patokan
2.100 kalori per hari. Sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan
meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa.
Dengan
kata lain, BPS menggunakan 2 macam pendekatan, yaitu pendekatan kebutuhan dasar
(basic needs approach) dan pendekatan Head Count Index. Pendekatan yang pertama
merupakan pendekatan yang sering digunakan. Dalam metode BPS, kemiskinan
dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Sedangkan Head Count Index merupakan ukuran yang menggunakan kemiskinan
absolut. Jumlah penduduk miskin adalah jumlah penduduk yang berada di bawah
batas yang disebut garis kemiskinan, yang merupakan nilai rupiah dari kebutuhan
minimum makanan dan non makanan. Dengan demikian, garis kemiskinan terdiri dari
2 komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (food line) dan garis kemiskinan non
makanan (non food line).
Untuk
mengukur kemiskinan terdapat 3 indikator yang diperkenalkan oleh Foster dkk
(1984) yang sering digunakan dalam banyak studi empiris. Pertama, the incidence
of proverty : presentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan
pengeluaran konsumsi perkapita dibawah garis kemiskinan, indeksnya sering
disebut rasio H. Kedua, the dept of property
yang menggambarkan dalamnya kemiskinan disuatu wilayah yang diukur dengan
indeks jarak kemiskinan (IJK), atau dikenal dengan sebutan proverty gap index.
Indeks ini mengestimasi jarak/perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari
garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis tersebut.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar