Bab
IV
Pengelolaan
Sumber Daya Alam Indonesia
4.1
Masalah sumber daya Alam struktur penguasaan sumber daya alam
Masalah Sumber Daya Alam
Permasalahan
pengelolaan sumberdaya alam menjadi sangat penting dalam pembangunan ekonomi
pada masa kini dan masa yang akan datang. Di lain pihak sumberdaya alam
tersebut telah banyak mengalami kerusakan-kerusakan, terutama berkaitan dengan
cara-cara eksploitasinya guna mencapai tujuan bisnis dan ekonomi. Dalam laporan
PBB pada awal tahun 2000 umpamanya, telah diidentifikasi 5 jenis kerusakan
ekosistem yang terancam mencapai limitnya, yaitu meliputi ekosistem kawasan
pantai dan sumberdaya bahari, ekosistem lahan pertanian, ekosistem air tawar,
ekosistem padang rumput dan ekosistem hutan.
Kerusakan-kerusakan
sumberdaya alam di dalam ekosistem-ekosistem tersebut terjadi terutama karena
kekeliruan dalam pengelolaannya sehingga mengalami kerusakan yang disebabkan
karena terjadinya perubahan besar, yang mengarah kepada pembangunan ekonomi
yang tidak berkelanjutan.
Padahal
sumberdaya tersebut merupakan pendukung utama bagi kehidupan manusia, dan
karenanya menjadi sangat penting kaitannya dengan kegiatan ekonomi dan
kehidupan masyarakat manusia yang mengarah kepada kecenderungan pengurasan
(depletion) dan degradasi (degradation). Kecenderungan ini baik dilihat dari
segi kualitas maupun kuantitasnya dan terjadi di hampir semua kawasan, baik
terjadi di negara-negara maju maupun negara berkembang atau miskin.
Masalah sumber daya alam dalam beberapa sektor, yaitu:
DI SEKTOR
MIGAS : Masalah kebijakan tambang migas di Indonesia : Minyak
dan Gas Bumi (Migas), diyakini banyak kalangan sebagai komoditi tulang punggung
ekonomi Indonesia hingga kini. Dilihat dari angka-angka, Migas memang
berkontribusi paling tinggi dibanding sektor lain pada pendapatan (yang
katanya) negara. Oleh karena itu, semua mata jadi tertutup, dan kita tidak
dapat melihat berbagai masalah yang terjadi dalam penambangan migas. Akibatnya,
Pertamina sebagai satu-satunya pemegang hak atas Migas di Indonesia bersama
para kontraktornya leluasa berbuat sewenang-wenang atas kekayaan alam
Indonesia. Kesalahan utama kebijakan dan
orientasi pertambangan di Indonesia bermula dari UU No 1 tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing yang diikuti penandatanganan kontrak karya (KK) generasi
I antara pemerintah Indonesia dengan Freeport McMoran . Disusul dengan UU No 11
tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Sejak saat itu,
Indonesia memilih politik hukum pertambangan yang berorientasi pada kekuatan
modal besar dan eksploitatif. Dampak susulannya adalah keluarnya berbagai
regulasi pemerintah yang berpihak pada kepentingan pemodal. Dari kebijaakan-kebijakannya
sendiri, akhirnya pemerintah terjebak dalam posisi lebih rendah dibanding
posisi pemodal yang disayanginya. Akibatnya, pemerintah tidak bisa bertindak
tegas terhadap perusahaan pertambangan yang seharusnya patut untuk ditindak.
Sejak tahun
1967 hingga saat ini, pemerintah yang diwakili oleh Departemen Pertambangan dan
Energi, (kini Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral) seolah merasa bangga
jika berhasil mengeluarkan izin pertambangan sebanyak mungkin. Tidak heran jika
sampai dengan tahun 1999 pemerintah telah “berhasil” memberikan izin sebanyak
908 izin pertambangan yang terdiri dari kontrak karya (KK), Kontrak karya Batu
Bara (KKB) dan Kuasa Pertambangan (KP), dengan total luas konsesi 84.152.875,92
Ha atau hampir separuh dari luas total daratan Indonesia . Jumlah tersebut
belum termasuk perijinan untuk kategori bahan galian C yang perizinannya
dikeluarkan oleh pemerintah daerah berupa SIPD. Walaupun baru sebagian kecil
dari perusahaan yang memiliki izin itu melakukan kegiatan eksploitasi, namun
dampaknya sudah terasa menguatirkan.
Berbagai
kasus korupsi di dunia pertambangan belum satupun yang diusut tuntas. Eufemisme
justru sering digunakan untuk menyelamatkan Pertamina dari tuduhan korupsi
seperti kasus mis-manajemen yang diungkap pada Habibie. Selain masalah korupsi,
banyak masalah lain yang juga belum terungkap dalam penambangan Migas. Misal
saja, hak menguasai negara yang diberikan secara mutlak pada PERTAMINA, proses
lahirnya Production Sharing Contract (Kontrak Bagi Hasil/PSC) antara PERTAMINA
dengan perusahaan multinasional, rencana investasi yang diatur oleh perusahaan
multinasional.
Di sisi
lain, perkembangan RUU Migas UU Migas No. 44 Prp tahun 1960, kini sedang
disiapkan penggantinya oleh pemerintah. Rancangan UU ini sempat menjadi
kontroversial, karena terjadi perbedaan pandangan yang tajam antara pemerintah
dan DPR-RI saat itu. Perdebatan yang mengemuka saat itu berkisar pada peran
Pertamina, dan kepentingan ekonomi negara.
Production
Sharing Contrac (Kontrak Bagi Hasil/PSC) Dalam usulan RUU Migas, pemerintah
berkeinginan mengganti PSC dengan Kontrak Kerjasama, yang menyerupai Kontrak
Karya dalam pertambangan umum. Padahal semua tahu model Kontrak Kerjasama ala
Kontrak Karya, telah nyata-nyata merugikan bangsa yang dikeruk hasil alamnya
oleh perusahaan tambang. Perdebatan menjadi tereduksi oleh bingkai penglihatan
sistem kontrak, yang sangat diharapkan oleh investor.
Liberalisasi
distribusi dan pemasaran migas, Pemerintah lewat RUU Migas berjanji untuk
mengikis habis monopoli di PERTAMINA. Namun yang ditawarkan adalah membuka
suatu kesempatan bagi perusahaan swasta lain untuk ikut berkompetisi dalam
distribusi dan pemasaran migas. Sepintas ide ini cukup menarik. Namun ancaman
di balik itu sungguh sangat mengerikan. Saat ini yang paling siap untuk
berkompetisi adalah perushaan-perusahaan multinasional seperti Mobil Oil,
Shell, Caltex, Texaco, Unocal, Vico, Total dan lain sebagainya. Karena mereka
yang paling siap, maka mereka yang akan merebut pangsa pasar distribusi dan
pemasaran migas di Indonesia. Maka yang akan terjadi adalah bergantinya
Monopoli Pertamina pada Oligopoli perusahaan multinasional.
Ancaman
besarnya modal yang akan masuk pada industri migas di Indonesia, juga menjadi
tidak mendapatkan perhatian pemerintah. Padahal, dilihat dari rencana investasi
yang sedang disiapkan oleh perusahaan multinasional dan campur tangan mereka
lewat lembaga-lembaga keuangan internasional dalam kebijakan negara, adalah
ancaman serius yang patut diperhatikan semua pihak. Perang saudara di Angola
adalah satu contoh terparah akan betapa buruknya intervensi perusahaan
multinasional pada keutuhan negara.
Isu
lingkungan hidup merupakan isu yang sangat marjinal di kalangan politisi dan
pemerintah. Seolah-olah aktivitas industri migas dilakukan di wilayah hampa
kepemilikan dan kebal polusi. Padahal berbagai kasus menunjukan isu ini menjadi
pemicu lahirnya perlawanan rakyat, seperti kasus Aceh, Riau dan Kaltim. Kasus
Mobil Oil yang sudah lama disengketakan orang Aceh, masih juga belum cukup jadi
referensi bagi pengambil kebijakan untuk mengubah susbstansi dan perilaku
kebijakan. Negara secara semena-mena mereduksi perlawanan rakyat atas
ketidakadilan menjadi persoalan perimbangan keuangan semata. Kontrak karya
pertambangan yang berada dikawasan hutan lindung telah mencapai 17,669 juta ha
atau 37,5 % dari total luas lahan kontrak karya seluas 47,059 juta ha.
Kontribusi kerusakan hutan sejak tahun 1996 meningkat 2 juta ha per tahun.
DI SEKTOR KEHUTANAN : Kawasan hutan lindung/konservasi yang saat
ini benar-benar sudah terancam keberadaannya diantaranya hutan lindung Pulau
Gag-Papua yang sudah resmi menjadi lokasi proyek PT Gag Nickel/BHP, Tahura
Poboya-Paneki oleh PT Citra Palu Mineral/Rio Tinto, Palu (Sulteng) dan Taman
Nasional Meru Betiri di Jember Jawa Timur oleh PT Jember Metal, Banyuwangi
Mineral dan PT Hakman. Belum lagi ancaman terhadap kawasan konservasi lainnya
yang hampir semuanya dijarah oleh perusahaan tambang, seperti ; Taman Nasional
Lore Lindu – Sulawesi tengah oleh PT. Mandar Uli Minerals/Rio Tinto, Taman
Nasional Kerinci Sebelat oleh PT. Barisan Tropikal Mining dan Sari Agrindo
Andalas; Kawasan Hutan lindung Cagar Alam Aketajawe dan Lalobata, Maluku Tengah
oleh Weda Bay Minerals; Hutan lindung Meratus – Kalimantan Selatan oleh PT.
Pelsart Resources NL dan Placer Dome; Taman Nasional Wanggameti oleh PT. BHP;
Cagar Alam Nantu oleh PT. Gorontalo Minerals; dan Taman Wisata Pulau Buhubulu,
oleh PT. Antam Tbk.
Terjadi
perubahan luas kawasan hutan karena eksploitasi hutan tropis Indonesia secara
besar besaran, dipacu dengan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan
Pokok Kehutanan. Sejalan itu pula, diterbitkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri (PMDN), yang memberi ruang bagi para investor menanamkan modalnya
di Indonesia. Selanjutnya diikuti dengan berbagai kebijakan yang memungkinkan
para pengusaha besar kroni Orde Baru menguasai dan membabat hutan untuk
membesarkan modalnya, misalnya PP No. 21 Tahun 1970 tentang Pengusahaan Hutan,
PP No. 7 Tahun 1990 tentang Hutan Tanaman Industri, dan peraturan lainnya yang
secara nyata tidak berpihak kepada
Struktur
penguasaan kekayaan sumber daya alam di Indonesia banyak didominasi oleh
pengusaha besar dengan kekuatan kapitalnya. Mereka dapat menguasai kawasan
hutan, lahan dan pertambangan serta mengeksploitasinya sampai jutaan hektar
luasnya dan puluhan tahun masa konsesinya. Sementara masyarakat setempat yang
hidupnya mengandalkan sumber daya lahan tersebut secara turun temurun sebelum
negara berdiri, nasibnya justru menjadi sengsara. Ketidakadilan distribusi
penguasaan sumber daya alam ini sebagai basis konflik sosial yang riil terjadi
dalam kehidupan rakyat. Ketimpangan pembangunan yang paling serius justru
terjadi pada sub sektor kehutanan, antara pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
dengan rakyat.
Perusahaan
pemegang HPH yang membawa izin dari pusat, tanpa menghiraukan kepentingan
rakyat menebang pohon-pohon besar “milik negara”. Sementara akses rakyat
setempat untuk sekedar memanfaatkan hasil hutan non-kayu (seperti rotan dan
damar) ditutup secara sepihak.. Ada 574 perusahaan HPH yang dikatakan mengelola
59 juta ha hutan, padahal faktanya mereka tidak mengelola tetapi sekedar
menebang bahkan membabat hutan tanpa menanam kembali. Beberapa konglomerat yang
pernah memegang HPH sampai jutaan hektar, diantaranya Prajogo Pangestu seluas
3.536.800 Ha, Andi Sutanto (3.142.800 ha), Burhan Uray (3.996.200 ha), PO
Suwandi (2.189.000 ha), dll. (BI, 23/10/98). Fakta lain mengatakan bahwa awal
Juli 1999, Dephutbun mengumumkan 18 HPH yang berindikasi KKN para kroni
Soeharto. 9 HPH/HPHTI diduga kuat melakukan KKN, 4 HPH dicabut pencadangannya,
5 HPH tidak diperpanjang izin konsesinya (Kompas, 9 Juli 1999) Dephutbun juga
mengidentifikasikan bahwa seluas 3,03 juta ha lahan perkebunan dikuasai oleh 33
perusahaan besar di 7 propinsi.
Eksploitasi
yang dilakukan para pemegang HPH sangat fantastis dalam rentang 10 tahun
terakhir. Data memperlihatkan bahwa produksi kayu bulat mencapai 260,58 juta meter
kubik, kayu gergajian 35,84 juta meter kubik, dan kayu lapis 98,052 juta meter
kubik. Di sisi lain, ekspor kayu lapis Indonesia dalam 5 tahun terakhir
mencapai 56,06 juta m3 dengan nilai devisa 18,73 milyar US$. Sayangnya, nilai
devisa itu tidak dinikmati oleh rakyat, tidak juga oleh Pemerintah Daerah.
Studi Walhi (1994) menunjukkan 85% keuntungan sektor kehutanan langsung
dinikmati oleh para pengusaha, sementar sisanya oleh Pemerintah Pusat. Tampak
jelas bahwa hasil eksploitasi bukan untuk rakyat. Indikator ini dapat dilihat
dari tenaga kerja yang terlibat dalam usaha perkayuan pada HPH terbilang sangat
kecil, yakni hanya 153.438 orang pada tahun 1997. Sementara di pihak lain, ada
sekitar 20 juta jiwa rakyat yang mengharapkan hidupnya dari sumber daya hutan
mengalami kemiskinan yang berkepanjangan. Bahkan akibat kebakaran hutan dan
lahan 1997-1998, mereka mengalami proses pemiskinan antara 40-73 persen
dibandingkan sebelum kebakaran.
Selama
beberapa dasawarsa, penguasa Indonesia mendorong pertumbuhan ekonomi
dengan mengorbankan lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat yang
berkelanjutan. Sikap ini tidak lepas dari dukungan pemerintah negara-negara
Utara, program bantuan internasional dan perusahaan-perusahaan asing. Atas nama
pembangunan hutan dirusak dan laut, sungai dan tanah tercemar. Masyarakat harus
mengalah kepada HPH, HTI, pertambangan, pembangkit listrik dan proyek berskala
besar lainnya. Ironisnya, keuntungan yang diperoleh hanya dinikmati oleh
segelintir orang, kelompok elit yang kaya dan penanam modal internasional.
Sumber: