14.3 Utang
Luar Negeri
A. Pengertian Utang
Luar Negeri
Utang
luar negeri atau pinjaman luar negeri, adalah sebagian dari total utang suatu
negara yang diperoleh dari para kreditor di luar negara tersebut. Penerima
utang luar negeri dapat berupa pemerintah, perusahaan, atau perorangan. Bentuk
utang dapat berupa uang yang diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara
lain, atau lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.
B. Penyebab Utang Luar Negeri
B. Penyebab Utang Luar Negeri
Berikut
adalah beberapa fakta yang menguatkan jebakan hutang tersebut.
Pertama, Pada saat Indonesia meminta bantuan kepada IMF untuk menghadapi krisis pada 1997, lembaga tersebut memaksakan kehendaknya untuk mengintervensi semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam letter of intent (LoI) terdapat 1.243 tindakan yang harus dilaksanakan pemerintah Indonesia dalam berbagai bidang seperti perbankan, desentralisasi, lingkungan, fiskal, kebijakan moneter dan Bank Sentral, privatisasi BUMN serta jaring pengaman sosial.
Pertama, Pada saat Indonesia meminta bantuan kepada IMF untuk menghadapi krisis pada 1997, lembaga tersebut memaksakan kehendaknya untuk mengintervensi semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam letter of intent (LoI) terdapat 1.243 tindakan yang harus dilaksanakan pemerintah Indonesia dalam berbagai bidang seperti perbankan, desentralisasi, lingkungan, fiskal, kebijakan moneter dan Bank Sentral, privatisasi BUMN serta jaring pengaman sosial.
Dengan
kata lain, keuangan negara sengaja dibuat bangkrut terlebih dahulu, dan melalui
ketergantungan dalam bidang keuangan ini, Indonesia telah sepenuhnya
dikendalikan oleh negara pemberi hutang dan lembaga keuangan internasional.
Kedua,
tudingan bahwa lembaga seperti IMF dan Bank Dunia diboncengi kepentingan
perusahaan-perusahaan dari negara-negara kreditor bukanlah isapan jempol
belaka. Hal tersebut juga diakui oleh pemerintah AS. Selama kurun tahun
1980-an hingga awal 1990-an saja, IMF sudah menerapkan program penyesuaian
struktural di lebih dari 70 negara berkembang yang mengalami krisis finansial.
Setiap tahun, Bank Dunia juga memberikan sekitar 40.000 kontrak kepada
perusahaan swasta. Sebagian besar kontrak ini jatuh ke perusahaan-perusahaan
dari negara-negara maju.
Jadi
sangat jelas bahwa negara-negara pendonor sangat berkepentingan untuk
memberikan negara-negara berkembang untuk berhutang. Departemen Keuangan
AS mengaku, untuk setiap dollar AS yang dikontribusikan AS ke lembaga-lembaga
multilateral, perusahaan-perusahaan AS menerima lebih dari dua kali lipat jumlah
itu dari kontrak-kontrak pengadaan untuk program-program atau proyek-proyek
yang dibiayai dengan pinjaman lembaga-lembaga tersebut.
Hal
tersebut tidak hanya terjadi pada pinjaman multilateral. Pinjaman
bilateral seperti dari Jepang pun biasanya diikuti persyaratan sangat ketat
yang menyangkut penggunaan komponen, barang, jasa (termasuk konsultan), dan
kontraktor pelaksana untuk pelaksanaan proyek harus berasal dari Jepang.
Melalui modus tersebut, Pemerintah Jepang selain bisa me-recycle ekses dana yang
ada di dalam negerinya, juga sekaligus bisa menggerakkan perusahaan dalam
negerinya yang lesu lewat pengerjaan proyek-proyek yang dibiayai dengan dana
hutang ini.
Dari pinjaman yang digelontorkan tersebut, dana yang mengalir kembali ke Jepang dan negara-negara maju lain sebagai kreditor jauh lebih besar ketimbang yang dikucurkan ke Indonesia sebagai pengutang.
Dari pinjaman yang digelontorkan tersebut, dana yang mengalir kembali ke Jepang dan negara-negara maju lain sebagai kreditor jauh lebih besar ketimbang yang dikucurkan ke Indonesia sebagai pengutang.
Solusi
Utang Luar Negeri
Solusi
yang paling sederhana mengatasi utang luar negeri adalah dengan mengoptimalkan
restrukturisasi utang, khususnya melalui skema debt swap, di mana sebagian
utang luar negeri tersebut dikonversi dalam bentuk progran yang berkaitan
dengan pemberdayaan masyarakat, pemeliharaan lingkungan, dan sebagainya.
Program
debt swap seperti ini sudah dijalankan dengan pemerintah Jerman, sebesar DM50
juta (Rp250 miliar) dari total utang sebesar DM178 juta, yang dikonversi dalam
bentuk proyekpendidikan.
Kedua
Diplomasi ekonomi. Menurut Rachbini. 1994, masalah utang LN tidak
bisa lagi diselesaikan dengan terapi fiskal dan teknis ekonomi belaka.
Potensi internal ekonomi kita tidak cukup kuat untuk melayani utang luar negeri
yang salah dalam pengelolaannya. Kita tidak bisa secara terus-menerus
menjadi "good boy" dengan melayani seluruh cicilan tersebut karena
sumber ekonomi dalam negeri akan terus terkuras dan mengganggu kestabilan
ekonomi serta politik.
Suatu
pendekatan diplomasi ekonomi politik harus terus menerus dijadikan program aksi
(action program) untuk menghadapi lembaga dan negara donor. Diplomasi
ekonomi juga penting dilembagakan dengan sasaran untuk memperoleh keringanan
dan penghapusan sebagian hutang sehingga proses pengurasan sumberdaya dapat
dihambat.
Ketiga
adalah cara yang lebih berani seperti yang ditawarkan oleh mantan kepala
BAPPENAS Kwik Kian Gie, dalam hal utang luar negeri, harus ada keberanian untuk
menggugat dan tidak membayar sesuai jadwal karena pada kenyataanya Indonesia
tidak dapat membayar kembali utang dan bunga yang jatuh tempo. Hutang
tersebut hanya bisa dibayar dengan cara melikuidasi kekayaan negara.
Dalam hal utang dalam negeri, supaya menarik kembali OR yang masih dalam
penguasaan pemerintah melalui bank-bank yang masih milik pemerintah.
Keempat.
Adalah cara yang datang dari potensi internal pemerintah sendiri yaitu dengan
menjaga kinerja makro-ekonomi dalam posisi yang stabil dan menstop hutang
baru. Untuk tawaran terakhir ini, paling tidak terdapat tiga asumsi dasar
yang harus dipenuhi agar kita dapat keluar dari debt trap. Asumsi dasar
pertama adalah laju pertumbuhan ekonomi harus dijaga pada level antara minimum
3% setahun dan maksimum 7% setahun. Angka terakhir pernah tercapai di
masa Orde Baru, tetapi didasari oleh penjagaan keamanan yang keras dan otoriter
dan arus modal masuk yang puluhan milyar setahun.